Perlakuan PPN Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Modal Berupa Mesin dan Peralatan Pabrik

materipajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 16B Undang Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 yang menetapkan beberapa barang kena pajak tertentu sebagai barang kena pajak yang bersifat strategis, yang atas impor atau penyerahannya dibebaskan dari PPN. PP No. 12 Tahun 2001 ini kemudian diubah dengan PP No. 43 Tahun 2002, dan selanjutnya PP No. 43/2002 tersebut diubah lagi dengan PP 46/2003.

Baca Juga: Perlakuan pajak penghasilan Atas pembayaran premi asuransi

Read More

Perubahan tersebut terutama menyangkut perlakuan barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik. Pada awalnya barang modal berupa mesin tersebut masuk dalam kategori barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis berdasarkan PP No. 12 Tahun 2001, yang kemudian dihapus dengan diterbitkannya PP No. 43/2002. Di dalam PP No. 46/2003 tersebut perlakuan PPN-nya dikembalikan seperti perlakuan PPN yang diatur dalam PP No. 12/2001 sehingga barang modal berupa mesin merupakan barang kena pajak strategis, yang atas impor atau penyerahannya dibebaskan dari PPN.

Pertimbangan yang mendasari perlakuan PPN tersebut adalah dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan memasukkan barang modal berupa mesin sebagai barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN akan menempatkan dunia usaha dalam posisi daya saing yang lebih baik.

Perlakuan PPN terhadap barang kena pajak strategis

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 PP No. 46/2003 barang kena pajak tertentu yang digolongkan kedalam golongan barang yang bersifat strategis antara lain barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas . Perlakuan PPN terhadap barang kena pajak yang masuk dalam kategori strategis adalah bahwa atas pengimporan atau penyerahannya PPN-nya dibebaskan.

Baca Juga: Usaha Dagang Asing

Jadi apabila pengusaha kena pajak (PKP) mengimpor mesin maka perusahaan tersebut tidak perlu membayar PPN, sehingga bagi pengusaha tersebut tidak ada PPN pajak masukan (PM) atas impor mesin tersebut. Perlakuan yang sama juga diberikan apabila mesin tersebut dibeli di dalam negeri dari produsen dalam negeri.

Tujuan dari pemberian perlakuan khusus tersebut adalah agar harga mesin menjadi lebih murah sehingga pengusaha kena pajak yang membeli mesin untuk memproduksi barang kena pajak dapat menekan biaya produksi. Disamping itu, hal ini akan membantu mengurangi masalah cash flow karena tidak perlu membayar PPN sebesar 10% dari harga impor atau harga penyerahan dalam negeri. Pertanyaan yang timbul adalah apakah tujuan tersebut dapat dicapai melalui perlakuan khusus tersebut. Tujuan tersebut tercapai apabila mesin yang dibeli adalah mesin yang diimpor, tetapi tidak demikian halnya bila mesin tersebut dibeli dari pabrikan dalam negeri.

Dengan memberi perlakuan bahwa penyerahan barang modal berupa mesin dibebaskan dari pengenaan PPN, produsen mesin dalam negeri tidak dapat mengkreditkan pajak masukan atas komponen-komponen yang berhubungan langsung dengan produksi barang modal tersebut. Ini berarti pajak masukan tersebut menjadi biaya produksi, sehingga biaya produksinya akan menjadi lebih tinggi daripada seandainya pajak masukannya (PM-nya) dapat dikreditkan.

Baca Juga: Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Bagi pembeli barang modal yang diproduksi di dalam negeri akhirnya harga pembeliannya akan menjadi lebih tinggi.
Jadi secara umum pemberian perlakuan tersebut justru akan merugikan pabrikan dalam negeri. Secara teoritis, dengan mengabaikan unsur tingkat efisiensi perusahaan, mesin yang sama jenisnya yang diimpor akan lebih diminati oleh perusahaan pabrikan dari pada produksi dalam negeri. Perbedaannya mungkin terletak pada bea masuk atas impor, tetapi perbedaan ini tidak terlalu besar.

Pemecahannya :

Dampak negatif yang ditimbulkan dari perlakuan PPN terhadap barang modal berupa mesin tersebut dapat dicegah dengan memberikan memilih salah satu dari fasilitas yang diatur dalam Pasal 16B. Ayat 1 dari pasal tersebut menyebutkan bahwa fasilitas yang diberikan oleh Pasal 16B adalah:

a. tidak dipungut sebagian atau seluruhnya; atau
b. dibebaskan dari pengenaan pajak.

Apabila barang kena pajak dibebaskan dari pengenaan PPN maka pajak masukannya tidak dapat dikreditkan. Sebaliknya apabila barang kena pajak tersebut tidak dipungut PPN maka pajak masukannya boleh dikreditkan sebagaimana diatur di ayat (2) Pasal 16B, yang berbunyi sebagai berikut:

Baca Juga: Hutang Pajak Dan Penagihannya

“(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.“

Dengan perlakuan tersebut maka bagi produsen barang modal dalam negeri, pajak masukan yang berkaitan dengan kegiatan produksi dapat dikreditkan, sehingga biaya produksi akan dapat ditekan.

Dari sudut pandang penerimaan pajak perlakuan tersebut akan berdampak mengurangi penerimaan pajak karena pajak masukan dari pabrikan dalam negeri harus dikembalikan bila PPN-nya tidak dipungut. Hal ini akan menjadi kendala karena sangat tergantung kepada kesiapan DITJEN PAJAK untuk mengorbankan penerimaan pajak dari sektor PPN dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang, perlakuan pajak berupa „PPN tidak dipungut“, yang diterapkan terhadap barang modal berupa mesin tidak akan merusak sistem PPN secara kesuluruhan. Disamping itu, perlakuan tersebut bersifat netral karena mekanisme pajak masukan dam pajak keluaran tetap terjaga.

Related posts