Mengapa saya harus menggabungkan penghasilan Suami dan Istri?

PENGHITUNGAN PPh PADA AKHIR TAHUN

Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa sudah memasuki bulan ketiga di tahun 2020. Sebagai seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan konsultan pajak, inilah saatnya saya harus menyingsingkan lengan baju dan siap mendengarkan keluhan klien sambil menyiapkan SPT tahunan mereka. Jangan salah paham terhadap saya. Bukan berarti saya tidak puas dengan pekerjaan konsultan pajak. Saya sebenarnya senang dan penasaran: masalah apa lagi yang akan muncul? Apa yang tampaknya tidak penting bagi saya mungkin menjadi masalah penting bagi klien saya. Salah satu contohnya adalah penggabungan dan penghitungan kembali penghasilan pasangan suami istri yang memutuskan untuk mengadakan perjanjian pranikah.

Perjanjian pranikah sendiri dimungkinkan atau diperbolehkan bagi pasangan suami istri di Indonesia. Hal ini diperbolehkan oleh Undang-Undang Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974. Dalam prakteknya, perjanjian tersebut mengatur tentang pembagian harta bersama, termasuk persentase pembagiannya jika terjadi perceraian, pengaturan dan pengurusan keuangan keluarga selama perkawinan, serta pembagian harta. dan/atau penghasilan selama perkawinan. Dengan demikian banyak pasangan suami istri yang mengadakan perjanjian tidak hanya untuk memisahkan harta bersama dari harta pribadi (harta sebelum perkawinan), tetapi juga penghasilan masing-masing, baik penghasilan yang diterima oleh suami maupun istri.

Akan tetapi, sekalipun suami dan istri mempunyai perjanjian pranikah yang mengatur tentang pembagian harta dan/atau penghasilan selama perkawinan, menurut hukum perpajakan Indonesia, mereka tetap diwajibkan untuk menghitung kembali penghasilan mereka masing-masing dengan menggabungkan kedua penghasilan bersih mereka dalam satu tahun pajak. Hal ini sejalan dengan pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang:

“Penghasilan bersih orang yang kawin sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c ayat (2) dikenakan pajak atas gabungan penghasilan bersih orang yang kawin itu, dan besarnya pajak yang terutang oleh masing-masing orang itu sebanding dengan penghasilannya masing-masing. pendapatan bersih.”

Baca Juga :  Pajak Penghasilan Sebagai Pajak Subjektif

Selain itu, pada saat menghitung besarnya pajak penghasilan tahunan yang terutang, suami istri yang mengadakan perjanjian pranikah (selanjutnya disebut “CH”, yang berarti “bagi hasil”) akan menerima pengurangan tambahan berupa pengurangan pajak. penghasilan bebas, Tidak Kena Pajak – PTKP) sebesar rupiah. 54.000.000 sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Simulasi berikut adalah contoh cara menghitung pajak yang terutang dan memasukkannya ke dalam SPT PH suami istri.

Baca Selengkapnya: PMK-70 Tahun 2022

Related posts