(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16 F)
Pengertian
Renteng mengandung arti berendeng atau beruntun-runtun (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berurutan. Kata renteng biasanya disatukan dengan kata lain untuk memberikan pengertian baru sesuai dengan kata yang diikutinya. Tidak ada definisi resmi yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam menjelaskan kata ini. Untuk kepentingan pembahasan ini, tanggung jawab secara renteng diartikan sebagai pelimpahan beban tanggung jawab secara beruntun kepada pihak berikutnya sesuai urut-urutan. Paling tidak diperlukan dua pihak untuk dapat terlaksananya tanggung jawab renteng.
Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya ditulis UU PPN 1984 perubahan ketiga), tanggung jawab secara renteng tercantum dalam Pasal 16F.
BACA JUGA: Jatuh Tempo Setor PPN Masa Pajak Maret 2022 Mundur di Karenakan Cuti Bersama
Selengkapnya berbunyi sbb:
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.
Penjelasannya menyatakan demikian:
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran PPN yang melekat pada pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pembeli, yang sesuai dengan karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi merupakan pemikul beban pajak sesungguhnya, dibebani tanggung jawab secara renteng apabila:
- pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa; dan
- pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
Dengan demikian, tanggung jawab secara renteng pada konteks Pasal 16F adalah pelimpahan beban tanggung jawab pembayaran ke Kas Negara atas pajak terutang, yang timbul akibat penyerahan barang kena pajak (Pasal 4 huruf a) atau penyerahan jasa kena pajak (Pasal 4 huruf c), kepada pembeli yang mestinya menjadi tanggung jawab penjual sebagai akibat pajak terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual dan pembeli tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak.
Ketentuan ini berlaku terhadap objek pajak berdasarkan Pasal 4 huruf a dan huruf c dimana yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak penjual.
Ilustrasi:
PT ABC telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2018 menyerahkan 10 unit komputer kepada PT XYZ dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000 = Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:
- PT ABC menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000.
- Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
– lembar pertama diberikan kepada PT XYZ sebagai bukti beban pajak yang seharusnya dibayar;
– lembar kedua menjadi arsip PT ABC sebagai bukti pemungutan pajak. - PT ABC wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara.
- PT XYZ wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT ABC.
- Bagi PT XYZ, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil bagi pengreditan pajak dalam suatu Masa Pajak.
Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 16F, apabila PT XYZ tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar maka PT XYZ dibebani tanggung jawab secara renteng atas pajak dimaksud. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33 yang berbunyi:
Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar
Penjelasannya:
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggungjawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pembeli jasa.
Dalam perubahan ketiga UU KUP yaitu UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku 1 Januari 2008, Pasal 33 ini dihapus. Namun dalam UU PPN 1984 perubahan ketiga yang mulai berlaku 1 April 2010 ketentuan mengenai tanggung renteng ini dihidupkan kembali.
Karakteristik PPN Indonesia
Beberapa karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia beserta aplikasinya berkaitan dengan tanggung jawab renteng, yaitu:
Pajak Objektif
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambhan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama (Untung Sukardji, 2006).
Yang menjadi subjek pajak dalam pengertian pajak objektif di atas adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut dikenai pajak yang sama. Lain halnya dengan pajak subjektif seperti Pajak Penghasilan yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Sebagai contoh Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi badan. Demikian pula Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang menikah berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bujangan.
Pajak atas Konsumsi umum dalam negeri
Hakikat PPN di Indonesia adalah pajak atas konsumsi, yaitu pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Hal ini berarti, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi atau dengan kata lain barang-barang atau jasa yang dikonsumsi pada area konsumen akhir. Sepanjang barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dilimpahkan kepada pembeli berikutnya melalui mekanisme pengreditan pajak masukan.
Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi tersurat jelas dalam penjelasan atas UU PPN 1984 perubahan terakhir, yaitu pada alenia pertama, yang berbunyi:
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.
Meskipun merupakan pajak atas konsumsi, tidak seperti Pasal 4 (1) huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud), dan huruf e (pemanfaatan JKP), ketentuan mengenai objek pajak yang diatur dalam Pasal 4 huruf a dan huruf c diuraikan dalam sudut pandang penjual bukan konsumen. Hal ini bisa dimengerti karena yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas pajak yang terutang untuk Pasal 4 huruf a dan c adalah penjual bukan pembeli. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ketentuan ini untuk kepentingan administratif bagi asas yang dianut sebagai Pajak Tidak Langsung dan mestinya tidak menjadikannya bias sebagai pajak atas konsumsi.
Pajak Tidak Langsung
Untuk membedakan pajak langsung dan pajak tidak langsung dalam konteks bahasan ini perlu kiranya penulis uraikan pengertian subjek pajak. Subjek pajak memiliki dua arti yaitu:
- Sebagai pemikul beban pajak; dan
- Penanggung jawab pembayaran pajak terutang ke Kas Negara.
Pada Pajak Penghasilan dua arti ini melekat pada satu pihak yaitu penerima penghasilan. Penerima penghasilan yang berdasarkan UU PPh adalah Wajib Pajak, selain sebagai pemikul beban pajak juga dibebani tanggung jawab atas pembayarannya ke Kas Negara. Lain halnya dalam PPN, khususnya pada pasal-pasal yang menerapkan karakteristik Pajak Tidak Langsung, antara pemikul beban pajak dan penanggungjawab pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak yang berbeda.
Pemikul beban pajak adalah konsumen sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara adalah penjual. Seperti pada ilustrasi di atas, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT ABC adalah bukti pungutan atas PPN terutang yang timbul ketika menjual 10 unit komputer. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap pajak yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Kewajiban pembeli adalah membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Dan faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti beban pajak.
Bagaimana Timbulnya Pajak Terutang dari Sisi Penjual dan Pembeli
• Pajak Terutang dalam Sudut Pandang PKP Penjual
Secara material yang pertama kali menentukan suatu peristiwa hukum (dalam konteks Pasal 4 huruf a dan huruf c) itu terutang PPN adalah penjual. Syarat suatu peristiwa hukum itu terutang PPN secara kumulatif yaitu:
- Yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;
- Di dalam daerah Pabean; dan
- Yang menyerahkan adalah pengusaha (dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya).
Secara material pembeli tidak ikut dan tidak dapat menentukan suatu penyerahan itu terutang PPN atau tidak, sebab pembeli tidak mengetahui kondisi hukum syarat nomor 3). Jadi sebenarnya tidak ada beban kewajiban material, dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang pajak, yang bisa dilekatkan pada pembeli untuk kasus dimaksud. Pembeli lebih bersifat pasif. Penjuallah yang menentukan.
Jika menurut penjual (belum tentu menurut UU) atas penyerahan barang atau jasa itu tidak terutang pajak maka yang demikian ini sah adanya sampai dapat dibuktikan bahwa itu tidak benar. Pembuktian bahwa itu tidak benar berdasarkan UU KUP ada di pihak fiskus (DJP) bukan di pihak pembeli. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan yang menetapkan penjual sebagai subjek pajak yaitu yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas utang pajak yang timbul.
Jadi meskipun PPN adalah pajak atas konsumsi (hal yang menjadi dasar pemikiran tanggung renteng dalam penjelasan UU PPN 1984) tidak serta merta melekat kewajiban material penentuan terutangnya pajak pada konsumen. Kecuali barangkali kalau kita menganut karakteristik PPN sebagai Pajak Langsung. Jika tidak ada kewajiban materil yang melekat dalam penentuan pajak terutang di pihak pembeli maka tidak mungkin diikuti dengan kewajiban formil berkaitan dengan pelunasan pajak terutang oleh pihak pembeli.
Karena kewajiban material dalam menentukan pajak terutang berada di pihak penjual maka sekiranya timbul pajak yang terutang akan selalu diikuti dengan kewajiban formil demi terealisasi menjadi penerimaan Negara. Kewajiban bagi penjual BKP/JKP diatur dalam Pasal 3A UU PPN 1984 yang meliputi:
- Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Memungut pajak terutang melalui penerbitan Faktur Pajak;
- Menyetor pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak; dan
- Melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN.
Sebagai konsekuensi apabila penjual tidak memungut PPN atas penjualan BKP/JKP yang menurut ketentuan terutang PPN, maka yang akan dituntut adalah penjual. Penuntutan dapat dilakukan melalui penerbitan surat ketetapan pajak setelah dilakukan pemeriksaan disertai dengan penerapan sanksi.
Lain halnya dengan Pasal 4 huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud) dan huruf e (pemanfaatan JKP) UU PPN 1984, di mana konsumen ditetapkan sebagai pihak yang memikul beban pajak sekaligus juga penanggung jawab atas pembayaran ke Kas Negara, karena penjual BKP/JKP yang berada di luar negeri tidak mungkin untuk dibebani kewajiban pemungutan pajak terutang. Timbulnya pajak terutang dalam Pasal 4 huruf b, d dan e tidak mewajibkan importir atau konsumen yang memanfaatkan BKP/JKP untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kewajiban formil yang melekat berdasarkan Pasal 3A meliputi:
- Membayar pajak yang terutang; dan
- Melaporkannya.
- Pajak Terutang dalam Sudut Pandang Konsumen
Bagaimana konsumen mengetahui bahwa atas pembelian barang itu terutang PPN?
Pertanyaan ini perlu dijawab untuk melihat apakah tanggung jawab renteng tepat diterapkan pada konsumen. Seperti telah diuraikan di atas bahwa konsumen tidak dibebani kewajiban material dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang PPN. Bagi konsumen, suatu pembelian barang atau jasa itu terutang PPN hanya apabila atas pembelian itu diterbitkan faktur pajak. Selama tidak diterbitkan faktur pajak maka bagi konsumen, atas pembelian itu dianggap tidak terutang PPN bahkan meskipun dikemudian hari dapat dibuktikan oleh fiskus bahwa secara material ternyata terutang PPN. Kewajiban untuk membayar pajak terutang atas pembelian barang atau jasa itu timbul bersamaan dengan terbitnya faktur pajak.
Pajak terutang yang timbul atau yang tercantum dalam faktur pajak adalah utang yang wajib dibayar oleh konsumen kepada penjual. Dan sifat dari utang ini adalah utang piutang biasa yang menjadi ranah hukum perdata bukan utang pajak dalam ranah hukum publik. Apabila konsumen tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak, tidak dapat kemudian oleh fiskus diterbitkan surat ketetapan pajak untuk memaksanya membayar. Meski faktur pajak sesungguhnya adalah bentuk lain dari suatu penetapan, namun pajak yang terutang di dalamnya adalah utang pajak antara penjual dan Negara.
Utang pajak yang timbul akibat peristiwa hukum yang menurut ketentuan (Pasal 4 huruf a dan c) terutang PPN, baik atasnya diterbitkan faktur pajak maupun tidak, adalah utang pajak antara penjual dengan negara yang merupakan ranah hukum publik. Selanjutnya atas pajak terutang ini proses pelunasan oleh penjual atau penagihannya kepada penjual dilakukan dengan ketentuan formil dalam UU di bidang perpajakan.
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasar yang bisa dijadikan acuan bagi pelimpahan tanggung jawab pembayaran pajak terutang kepada konsumen pada ranah hukum publik untuk pajak terutang atas penyerahan BKP atau JKP dari penjual kepada pembeli.
Paradoks Tanggung Jawab secara Renteng
(UU Nomor 42 tahun 2009 Pasal 16 F)
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.
Pasal ini memiliki beberapa kelemahan yang berpotensi menimbulkan praktik hukum yang tidak adil khususnya bagi konsumen.
Secara normatif, kondisi hukum yang menimbulkan tanggung jawab renteng terhadap pembeli adalah apabila:
- Pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa; dan
- pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat pertama mengandung pengertian bahwa telah dilakukan tindakan penagihan kepada penjual atau pemberi jasa ybs.
Pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar dapat disebabkan hal-hal sbb:
- Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual;
- Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli.
Akan diuraikan di bawah ini implikasi dari masing-masing kondisi berkaitan dengan tanggung jawab renteng.
Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual
Faktur pajak yang tidak diterbitkan oleh penjual padahal atas transaksi itu terutang pajak berdasarkan hasil pemeriksaan fiskus dapat menimbulkan implikasi yang berbeda bagi penjual dan bagi pembeli. Apabila faktur pajak tidak diterbitkan oleh penjual, ini berarti atas transaksi itu menurut penjual tidak terutang pajak dan sah berdasarkan undang-undang sampai ditemukan bukti bahwa transaksi ini terutang pajak. Akibat kesalahan penjual ini, fiskus dapat menerbitkan surat ketetapan pajak untuk menagih pajak terutang yang semestinya dipungut ditambah sanksi administrasi kepada penjual. Meskipun PPN adalah beban pembeli tetapi akibat kesalahan materil penentuan pajak terutang oleh penjual, atas pajak yang semestinya terutang itu akan menjadi beban penjual. Ini konsekuensi dari karakteristik PPN sebagai pajak tidak langsung dimana fungsi penetapan dilekatkan pada penjual.
Bagi pembeli, karena tidak diterbitkan faktur pajak maka atas transaksi ini tidak terutang pajak meskipun dikemudian hari ditemukan bukti bahwa transaksi itu terutang pajak. Pembeli tidak mungkin dibebani pembayaran pajak apabila tidak diterbitkan faktur pajak. Karena pembeli tidak dibebani kewajiban materil dalam menentukan suatu pembelian adalah terutang pajak, dengan alasan:
- Pembeli tidak mengetahui dan tidak ada kewajiban dalam undang-undang untuk mengetahui kondisi hukum penjual apakah pengusaha kena pajak atau bukan;
- Tidak ada kewenangan bagi pembeli untuk menerbitkan faktur pajak atau mekanisme penetapan lainnya yang diatur undang-undang sebagai sarana untuk melakukan pembayaran pajak terutang sekiranya penjual tidak menerbitkan faktur pajak atas penyerahan yang mestinya terutang.
Dengan demikian selama penjual tidak menjalankan fungsi penetapan pajak (dalam bentuk menerbitkan faktur pajak) maka ini berarti tidak pernah ada utang pajak yang timbul bagi pembeli dari sudut pandang pembeli.
Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli.
Tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar bisa juga berarti bahwa faktur pajak telah diterbitkan tetapi pembeli belum atau tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak. Pembeli memang wajib membayar pajak yang terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Tetapi kewajiban membayar pajak ini sederajat dengan kewajiban membayar harga barangnya pada penjual.
Faktur pajak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN perubahan ketiga sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dari definisi itu maka jelas bahwa apabila telah diterbitkan faktur pajak maka utang pajak berada di pihak yang memungut yaitu penjual. Maka ke penjuallah selayaknya tanggungjawab pembayaran itu dialamatkan. Ketika faktur pajak diterbitkan, muncul utang piutang antara penjual dan Negara.
Bagi pembeli, faktur pajak bukan bukti pembayaran tetapi bukti beban pajak. Sebagaimana tersirat dalam definisi mengenai Pajak Masukan dalam Pasal 1 angka 24 yaitu:
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
Frasa PPN yang seharusnya sudah dibayar pada definisi Pajak Masukan menunjukkan beban. Maka faktur pajak itu bukan bukti pembayaran pajak tetapi bukti beban pajak yang harus dipikul pembeli atas pembelian barang atau jasa yang terutang pajak. Pelunasan beban pajak ini dilakukan dengan pembayaran kepada penjual.
Tentu timbul pertanyaan bukti seperti apa yang dapat diterima sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar kepada penjual? Adakah ketentuan dalam undang-undang pajak yang mengatur jatuh tempo pembayaran pajak oleh pembeli kepada penjual? Dapatkah pembeli membayar langsung ke Kas Negara setelah menerima faktur pajak dari penjual dan kepadanya diberikan SSP sebagai bukti pembayaran? Adakah ketentuan yang mengatur pengalihan utang piutang biasa antara pembeli dan penjual ke dalam utang pembeli kepada negara dalam undang-undang pajak, kaitannya dengan pajak terutang ini? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh seperangkat peraturan perundang-undangan pajak kita maka terdapat banyak missing link untuk sampai pada tanggung jawab renteng.
Di samping itu, jika pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak yang tercantum dalam faktur pajak telah dibayar dan untuk itu diterbitkan surat ketetapan pajak beserta sanksinya maka akan terjadi pemajakan ganda untuk satu objek pajak. Pembeli, disamping harus melunasi utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang merupakan ranah hukum publik, juga harus melunasi pajak yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual yang merupakan ranah hukum perdata untuk satu peristiwa hukum.
Bisakah Tanggung Jawab Renteng Diterapkan Dalam PPN dengan Karakteristik Pajak Tidak Langsung?
Bisa saja, tetapi tidak dengan syarat sebagaimana diberlakukan dalam Pasal 16F. Syarat yang ditetapkan harus betul-betul tepat bahwa konsumen berada dalam kapasitas yang memang layak untuk dibebani tanggung jawab renteng.
Misalkan terdapat bukti persekongkolan antara penjual dan pembeli dimana penjual selanjutnya tidak diketahui rimbanya dan pajak masukan yang menjadi beban pembeli dan tidak pernah dibayar dikreditkan oleh pembeli. Tetapi ini tentunya masuk ke area pidana. Dan harus bisa dibuktikan adanya persekongkolan antara penjual dan pembeli. Untuk menghindari ini DJP perlu melakukan pembinaan yang intensif terhadap PKP di wilayah kerjanya masing-masing.
Selanjutnya: ortax.org