Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

materipajak.id

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan dalam literatur perpajakan internasional lazim disebut “controlled foreign corporation rule” atau disingkat CFC rule. Aturan yang menyangkut CFC pada dasarnya untuk mencegah wajib pajak di suatu negara melakukan tax deferral atas penghasilannya, dengan cara melakukan transaksi atau investasi di negara-negara yang dikenal dengan sebutan “tax havens”, karena tarif pajak di negara-negara tersebut sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali. Secara umum, tujuan dari aturan CFC adalah agar wajib pajak tidak memindahkan penghasilannya keluar negeri dengan mendirikan perusahaan di negara-negara tertentu karena ketentuan perpajakannya sangat longgar.

Baca Juga: Pedoman Perpajakan

Ketentuan yang mengatur CFC mengandung tiga unsur pokok yaitu definisi dari CFC, jenis penghasilan yang tunduk kepada aturan CFC, dan perlakuan pajak terhadap penghasilan tersebut.
Syarat-syarat yang diterapkan untuk menetapkan apakah suatu perusahaan diperlakukan sebagai perusahaan yang masuk kategori CFC, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) adalah:

Read More
  • besarnya penyertaan wajib pajak dalam negeri di perusahaan dimaksud paling sedikit 50% dari modal yang disetor; atau
  • bersama sama dengan wajib pajak lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor.
    Apabila syarat tersebut dipenuhi maka dividen dari penyertaannya tersebut akan dikenai PPh di Indonesia, walaupun perusahaan tempat penyertaan itu tidak membagikan dividen.
    Ketentuan ini diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 650/KMK.04/1994, yaitu bahwa dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang didirikan di negara-negara sebagaiaman disebutkan dalam daftar, dianggap dibagi. Jadi keputusan menteri keuangan tersebut mengandung dua hal pokok, yaitu perlakuan pajak atas dividen dari penyertaan oleh wajib pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2), dan daftar negara-negara tempat dilakukannya penyertaan.
    Ketetentuan yang mengatur tentang CFC mencakup dua masalah pokok yaitu, pengertian dari “tax haven country” dan penentuan jenis penghasilan yang terhadap penghasilan itu dapat diterapkan ketentuan ketentuan CFC.

Definisi negara tax haven

Dasar penentuan negara-negara tempat melakukan investasi tersebut tidak berdasarkan kriteria yang jelas, selain bahwa negara-negara tersebut adalah negara tax haven. Negara tax haven mempunyai konotasi bahwa tarif pajaknya rendah. Yang dimaksud dengan tarif pajak yang rendah adalah tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak yang berlaku di negara domisili. Jadi dari kacamata Indonesia, negara-negara tersebut mempunyai tarif pajak yang lebih rendah dari tarif PPh. Perbandingan tarif pajak tersebut hanya mempertimbangkan tarif nominalnya saja.

Baca Juga: Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan Usaha

Di negara-negara lain tolok ukur yang dipakai tidak hanya tarif nominalnya, melainkan juga perbandingan antara tarif effektif yang berlaku di negara-negara CFC dengan tarif effektif di dalam negeri. Dalam prakteknya hal ini sangat sulit karena harus memonitor tarif effektif setiap tahunnya. Yang lebih mudah penerapannya adalah dengan melakukan pendekatan dengan mempertimbangkan besarnya pajak yang sebenarnya dibayar di negara-negara tersebut. Sebagai perbandingan, yang dianut oleh Argentina, Australia dan Selandia Baru mirip dengan Indonesia karena didalam peraturan perundang-undangan pajaknya tidak memberi definisi apa yang disebut dengan “negara dengan tarif pajak yang rendah”. Sedangkan beberapa negara, misalnya Denmark, Perancis, Norwegia dan Inggris menggunakan perbandingan antara besarnya pajak yang dibayar oleh CFC dengan besarnya pajak di dalam negeri.

Baca Juga :  Pasal 31 E UU PPh : Menguntungkan atau Bumerang ?

Pendekatan melalui “pajak yang sebenarnya dibayar” di negara dimana CFC berada, untuk menentukan apakah negara tersebut masuk dalam kategori low tax ditempuh oleh Jepang dengan menerapkan plafon 25% sebagai patokan.

Jenis-jenis penghasilan yang menjadi cakupan aturan CFC
Apabila disimak ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan Keputusan Menteri Keuangan No. 650/KMK.04/1994 hanya membatasi kepada dividen. Artinya ketentuan yang menyangkut aturan CFC hanya berlaku terhadap “passive income” saja. Umumnya, jenis penghasilan yang dicakup dalam aturan CFC terdiri dari tiga macam , yaitu:

  • passive income, atau penghasilan-penghasilan dari investasi;
  • active income, yaitu penghasilan dari kegiatan usaha; dan
  • base company income: penghasilan selain “passive income” yang masuk dalam kategori “tainted income”

Baca Juga: Gugatan, Banding, Keberatan, Dan Peninjauan Kembali

Secara eksplisit Undang-undang Pajak Penghasilan membatasi perlakuan aturan CFC hanya kepada “passive income”, karena Keputusan Menteri Keuangan No. 650/KMK.04/1994 dengan tegas mengatur perlakuan pajak atas dividen.
Di negara-negara yang mempunyai aturan CFC biasanya mengecualikan penghasilan usaha (business income) dari cakupan CFC rules, kecuali Selandia Baru dan Swedia.

Sebagai contoh, pemegang saham yang merupakan wajib pajak dalam negeri (suatu negara) mendirikan perusahaan di Cayman Island, dan perusahaan tersebut diasumsikan masuk dalam kategori CFC (berdasarkan pendekatan entitas). Perusahaan CFC tersebut bergerak di bidang perhotelan yang berlokasi di Cayman Island. Laba usaha yang diperoleh dari kegiatan mengusahakan hotel, tidak masuk dalam kategori penghasilan yang tunduk kepada ketentuan CFC.

Pendekatan untuk menentukan jenis penghasilan yang masuk dalam cakupan aturan CFC adalah pendekatan berdasarkan transaski (transactional approach) atau pendekatan berdasarkan entitas (entity approach). Pasal 18 ayat (2), Undang-undang Pajak Penghasilan menunjukkan bahwa Undang-undang PPh menempuh pendekatan entitas, karena batasan atas penghasilan yang akan diterapkan aturan CFC, berdasarkan penyertaan wajib pajak dalam negeri di negara-negara tertentu.

Pendekatan masalah berdasarkan transaksi (transactional approach) berbeda dengan pendekatan berdasarkan entitas. Dalam hal transactional approach, ditentukan beberapa jenis penghasilan yang dimasukkan kedalam kelompok “tainted income”. Yang dimaksud dengan “tainted income” adalah penghasilan yang diperoleh CFC yang terhadapnya dapat diterapkan ketentuan tentang CFC. Penghasilan yang masuk dalam kategori ini misalnya penjualan harta atau pemberian jasa yang dilakukan di luar negara domisili dari pemegang saham CFC. Penciptaan penghasilan semacam ini memberi kesan yang kuat akan tujuan untuk menghindari pengenaan pajak di dalam negeri. Beberapa negara menerapkan bahwa apabila besarnya tainted income yang diperoleh CFC melebihi suatu persentase tertentu maka seluruh penghasilan atau laba usaha tersebut dianggap masuk dalam cakupan CFC. Jadi secara garis besar dapat dikatakan bahwa penghasilan yang masuk dalam kategori “tainted income” adalah business income.

Baca Juga :  Wajib Pajak Dalam Negeri Dikenakan Pajak Sesuai dengan Tarif

Baca Juga: Penyusutan dan Amortisasi

Di dalam praktek seringkali sulit membedakan antara business income dengan passive income. Sebagai contoh, penghasilan berupa bunga yang diperoleh lembaga keuangan biasanya dianggap sebagai business income.

Denmark memperlakukan bunga sebagai passive income walaupun jika bunga tersebut diperoleh oleh lembaga keuangan, karena sasaran utama aturan CFC hanya ditujukan kepada CFC yang penghasilan berupa bunga atau hartanya melebihi sepertiga dari seluruh penghasilan atau hartanya. Di beberapa negara seperti misalnya Jepang, Korea, Portugal dan Inggris, sewa atau royalti selalu dianggap sebagai tainted income, sepanjang penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan dari usaha pokoknya.
Capital gains atas pengalihan harta biasanya tidak masuk dalam kategori “tainted income”, terutama harta yang dipergunakan untuk menjalankan usaha. Sebaliknya capital gains dari penjualan saham perusahaan publik diperlakukan sebagai passive income.

Base company income

Yang dimaksud dengan istilah “base company income” adalah semua jenis penghasilan selain passive income, yang diperlakukan sebagai “tainted income” untuk keperluan penerapan aturan CFC. Biasanya penghasilan jenis ini adalah penjualan harta atau pemberian jasa di luar negara dimana CFC didirikan, atau diberikan kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Memanfaatkan CFC untuk memperoleh penghasilan tersebut memberi kesan terjadinya penghindaran pajak di dalam negeri. Dari sisi administrasi perpajakan penghasilan tersebut dimasukkan sebagai kategori “tainted income” merupakan pelengkap dari penerapan aturan transfer pricing. Dengan memasukkannya sebagai “tainted income” maka prosedur dan aturan transfer pricing tidak perlu diterapkan.

Baca Juga: Norma Penghitungan Khusus

Pelaksanaannya diberbagai negara tidak seragam dalam arti pengertian dari “base company income” berbeda antara satu negara dengan lainnya. Sebagai contoh Denmark dan Argentina tidak memasukkan “base company income” sebagai tainted income. Sebaliknya Hongaria, Selandia Baru dan Swedia memperlakukan semua base company income sebagai tainted income.
Ada beberapa transaksi yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan apakah penghasilan dari transaksi tersebut masuk dalam kategori tainted income.

  1. Penghasilan dari transaksi dengan wajib pajak dalam negeri: apabila wajib pajak dalam negeri melakukan transaski dengan CFC, dan wajib pajak tersebut membebankannya sebagai biaya maka penghasilan tersebut diperlakukan sebagai “tainted income”, sebagaimana diterapkan di Spanyol. Jadi dalam hal ini ada dua pendekatan sekaligus yaitu pendekatan entitas, dan pendekatan transaksi. Australia menerapkan pendekatan lain yaitu dengan menetapkan bahwa “tainted income” meliputi penghasilan yang diperoleh CFC dari pemberian jasa kepada wajib pajak dalam negeri atau kepada “bentuk usaha tetap” yang berada di Australia.
  2. Penghasilan dari transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa: Transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa biasanya dimasukkan dalam golongan “tainted income” . Sebaliknya dalam hal transaksi antara CFC dengan pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan istimewa maka penghasilan yang berasal dari transaksi tersebut tidak masuk dalam golongan “tainted income” sehingga aturan yang mengatur CFC tidak berlaku.

Undang-undang Pajak Penghasilan dan usul perubahannya

Undang-undang Pajak Penghasilan juga sudah mempunyai aturan tentang CFC sebagaimana diuraikan di muka, namun perlakuan CFC hanya berlaku terhada passive income saja yaitu dividen. Di dalam usul perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan beberapa ketentuan yang memperluas cakupan aturan CFC sudah dimasukkan, yang dirumuskan di ayat (3b) dan (3c) dari Pasal 18, yang masing-masing rumusannya adalah sebagai berikut:

Baca Juga :  Pajak Atas Dividen Orang Pribadi

Baca Juga: Perlakuan pajak penghasilan Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi

(3b) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Wajib Pajak yang sebenarnya melakukan penjualan atau pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian ( Special Purpose Company) dalam hal Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut atau terdapat ketidak wajaran penetapan harga.

(3c) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara atau badan yang dibentuk untiuk maksud demikian (conduit company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau berkedudukan di negara yang memberikan perlindungan (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau badan usaha tetap di Indonesia, sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang berkedudukan di Indonesia.

Ketentuan yang diatur di dalam ayat (3b) diatas mengatur tentang transaksi yang digolongkan sebagai “tainted income”. Namun demikian, aturan ini tidak memerinci transaksi apa yang masuk kedalam kategori ini. Di dalam rancangan penjelasan atas ayat tersebut disebutkan bahwa ketentuan ini berlaku atas transaksi penjualan saham. Penjelasan dari ayat tersebut dengan tegas membatasi penerapannya terhadap penjualan saham, sehingga dengan demikian transaksi di luar penjualan saham tidak dapat diterapkan aturan ini. Berdasarkan ketentuan ini, DIRJEN menetapkan entitas yang melakukan pengalihan harta.

Baca Juga: Usaha Dagang Asing

Sedangkan ketentuan ayat (3c) dengan tegas merujuk kepada transaksi penjualan saham dari SPC yang mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan di Indonesia. Dalam hal demikian maka yang mengalihkan atau menjual saham dianggap sebagai penjualan oleh wajib pajak Indonesia.
Kedua aturan tersebut tidak secara tegas mengatur penerapan aturan CFC terhadap transaksi-transaksi yang dapat digolongkan sebagai “tainted income” seperti misalnya pemberian jasa yang dilakukan oleh SPC.

Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas beberapa kesimpulan dapat ditarik seperti disampaikan di bawah ini.

  1. Usul tambahan dalam Rancangan Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan hanya mencakup transaksi penjualan saham dan aktiva lainnya, tetapi tidak mencakup transaksi lainnya seperti misalnya pemberian jasa oleh SPC.
  2. Usul aturan baru tersebut tidak memberikan petunjuk yang jelas bagaimana penerapan atas aturan CFC, sebab berdasarkan usul perubahan tersebut, hanya saham yang dicakup. Penilaian atas sham yang dimaksud akan sulit dilakukan untuk menentukan harga yang wajar.
  3. Perlu segera diterbitkan aturan yang menjadi dasar penanganan masalah-masalah transfer pricing agar penerapan atas aturan CFC dapat dilaksanakan dengan sempurna. Hal ini menjadi sangat relevan karena usul yang dikandung dalam ayat (3b) dengan jelas menyangkut masalah transfer pricing. Seperti diketahui, aturan transfer pricing yang ada sekarang sudah saatnya untuk diperbaharui mengingat OECD sudah menerbitkan Transfer Pricing Guidelines yang baru.

Related posts