Pemberian Stock Options dan Masalah Transfer Pricing

materipajak.id

Pemberian hak untuk membeli saham yang diberikan kepada para karyawan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, biasanya merupakan paket imbalan dari suatu perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional biasanya beroperasi di beberapa negara yang mempunyai sistem dan yurisdiksi pajak yang berbeda.

Dari kacamata perusahaan multinasional program pemberian hak opsi membeli saham yang diberikan kepada para karyawannya merupakan suatu program yang menyeluruh dalam arti disamping melibatkan anak-anak perusahaannya juga menyangkut strategi bisnis dari grupnya . Itulah sebabnya maka program pemberian hak opsi untuk membeli saham sangat dekat dengan masalah “transfer pricing”.

Read More

Baca Juga: Penyusutan dan Amortisasi

Tulisan ini akan membahas masalah tersebut dengan catatan bahwa analisis yang disajikan bukan merupakan upaya untuk memberikan pemecahannya dari segi pajak. Masalah ini diangkat untuk memperoleh perhatian dengan menyajikan suatu pertanyaan apakah Undang-undang Pajak Penghasilan sudah cukup untuk menangani masalah tersebut. Yang disebut dengan menangani masalah transfer pricing dalam kaitannya dengan pemberian hak opsi adalah apakah secara yuridis fiskal ketentuan-ketentuan di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sudah cukup lengkap untuk dihadapkan pada masalah tersebut.

Analisis yang disajikan dalam kerangka hubungan sebagaimana diatur dalam Article 9 OECD Model dan hak melakukan koreksi apabila transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan arm’s length transaction.
Program pemberian hak opsi untuk memperoleh saham dibagi secara garis besar menjadi dua jenis yaitu program yang disebut sebagai “dilutive stock option plan” dan “non-dilutive option plan”.

Yang dimaksud dengan “dilutive option plan” adalah pemberian hak memperoleh saham baru, yaitu saham yang belum pernah diterbitkan dengan syarat-syarat yang menguntungkan bagi karyawan yang berhak memperoleh hak tersebut. Sedangkan “non-dilutive option plan” adalah program pemberian hak memperoleh saham yang sudah ada, dengan syarat yang menguntungkan juga.

Untuk lebih menyederhanakan analisis, ada beberapa perusahaan yang terlibat yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan istimewa sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 OECD Model, yaitu PARENTCo, yang berdomisili di Negara D, yang merupakan induk perusahaan dari suatu kelompok perusahaan multinasional, SUBSIDICo-1, adalah anak perusahaan yang berdomisili di Negara S, serta SUBSIDICo-2 yang berdomisili di Negara T. Kasusnya adalah sebagai berikut:

Baca Juga: Pembetulan, Pembatalan Ketetapan Pajak dan Penghapusan Sanksi Administrasi

John Doe adalah karyawan eksekutif yang bekerja di PARENTCo, yang kemudian di tugaskan di SUBSIDICo-1. John Doe kemudian ditugaskan untuk bekerja di SUBSIDICo-2 untuk jangka waktu tertentu, dan untuk itu ia diberi hak untuk memperoleh saham dari PARENTCo yang sudah ada, disamping remunerasi yang standar. Pada saat PARENTCo memberi hak kepada John Doe, ditentukan harga yang merupakan harga saham pada saat pemberian hak tersebut (strike price).

Apabila harga pasar dari saham tersebut pada saat hak itu dilaksanakan (exercised) oleh John Doe harga yang harus dibayarnya tetap sama pada saat ia diberi hak opsi. Perlakuan pajak terhadap John Doe tidak dibahas dalam tulisan ini karena sudah dibahas dalam tulisan lain yang membahas perlakuan pajak terhadap karyawan yang memperoleh hak opsi tersebut. Jadi pembahasan dipusatkan pada perusahaan yang berada di dalam satu grup.

Masalah transfer pricing harus disimak pada transaksi antara PARENTCo, SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 karena ketiganya merupakan perusahaan-perusahaan yang berada di grup yang sama. Sebagaimana telah disebutkan di atas ketiganya memenuhi syarat sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa jadi apabila terjadi transaksi antara perusahaan-perusahaan tersebut perlu diamati apakah transaksi tersebut arm’s length.

Ada beberapa transaksi yang perlu disimak antar antara lain, transaksi antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 karena anak perusahaan ini bersedia melepaskan John Doe untuk dipekerjakan ke SUBSIDICO-2. Apakah dalam transaksi tersebut SUBSIDICo memperoleh kompensasi dari PARENTCo?

Apabila stock option plan (SOP) yang dimaksud dilakukan antara PARENTCo dengan John Doe perlu disimak bagaimana pembebanan dari biaya yang timbul dari rencana tersebut. Ditinjau dari masalah transfer pricing ada dua hal yang perlu disimak, yaitu bagaimana pembebanan dari biaya tersebut ditangan SUBSIDICo-2 dan apakah perusahaan ini memperoleh reimbursement dari PARENTCo, serta masalah yang kedua adalah apakah besarnya pembebanannya dapat dikatakan arm’s length.

Baca Juga :  Mengenal NJOP, Salah Satu Konsep Pajak Terpenting di Indonesia

Dalam transaksi tersebut yang memperoleh manfaat, disamping John Doe adalah SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 dalam tingkatan yang berbeda. SUBSIDICo-1 mungkin memperoleh imbalan karena harus melepaskan John Doe, sedangkan SUBSIDICo-2 memperoleh manfaat karena dapat menggunakan keahlian dan pengalamannya untuk kinerja perusahaannya.

Baca Juga: Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Metode Transfer Pricing
Sebelum ditetapkan metode transfer pricing yang akan dipakai, perlu ditentukan apakah situasi yang dihadapi memenuhi dua syarat sebagaimana diatur di Pasal 9 OECD Model, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

Associated Enterprises

Where

  1. An enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control, or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
  2. The same persons participate directly or indirectly in the management, control, or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State,

And in either case, conditions are made or imposed between two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued, may be included in the profits of the enterprise and taxed accordingly.”

Ketentuan tersebut diatas mengandung dua syarat untuk menerapkan metode transfer pricing dalam rangka menetapkan transaksi yang arm’s length, yaitu harus ada hubungan komersial atau finansial (commercial or financial relations), dan syarat-syarat tertentu diciptakan dalam hubungan komersial atau finansial.

Apabila ketentuan diatas dihubungkan dengan kasus yang disajikan maka hubungan komersial dan finansial antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 ada karena perusahaan induk tersebut mengadakan SOP dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi oleh staf yang bersangkutan, dan disetujui oleh SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 untuk berpartisipasi didalamnya. Dalam kasus diatas PARENTCo tidak akan bersedia memberikan imbalan kepada karyawan yang bekerja untuk perusahaan lain kecuali memperoleh keuntungan dari transaksi tersebut. Oleh karena itu, dalam hal PARENTCo bersedia memberikan hak opsi kepada karyawan yang bekerja di SUBSIDICo-2 tanpa imbalan (atau kalaupun ada lebih kecil dari jumlah yang arm’s length) maka syarat kedua dari Pasal 9 diatas juga dipenuhi.

Pertimbangan-pertimbangan sebelum memilih metode transfer pricing

Siapa yang memperoleh manfaat Pertama-tama perlu ditentukan sesuai dengan kasus diatas, siapa saja yang memperoleh manfaat dari transaksi tersebut. Jelas bahwa yang memperoleh manfaat dari SOP tersebut adalah SUBSIDICo-2 yang mempekerjakan John Doe. Namun demikian, SUBSIDICo-1 mungkin juga memperoleh manfaatnya bila John Doe disamping secara struktural bertanggung jawab kepada SUBSIDICo-2 tetapi tetap bertanggung jawab atas kinerja di SUBSIDICo-1.Hal ini dapat saja terjadi bila SUBSIDICo-2 memberikan jasa kepada SUBSIDICo-1 atau dalam hal dilakukannya penempatan bersama antara SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 atas John Doe.

Baca Juga: Penentuan Laba Usaha Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap

Jadi misalnya SUBSIDICo-2 memberikan jasa kepada SUBSIDICo-1 dengan mempekerjakan John Doe sebagai tokoh utama (sesuai dengan keahliannya). Sedangkan dalam SOP yang disebutkan, John Doe adalah karyawan yang memperoleh manfaat dari rencana tersebut. Dalam hal demikian untuk keperluan penerapan transfer pricing harus disimak hubungan transaksi antara PARENTCo dengan dan SUBSIDICo-2 tempat John Doe bekerja dan transaksi antara SUBSIDICo-2 dengan SUBSIDICo-1 dan afiliasi yang lain. Pembebanan yang ditagih oleh PARENTCo kepada SUBSIDICo-2 dalam kaitannya dengan pelaksanaan SOP kepada John Doe menjadi biaya dalam rangka pemberian jasa kepada perusahaan afiliasi di dalam grup tersebut.

Dalam hal demikian maka siapa yang menikmati transaksi SOP (disamping Jihn Doe) menjadi tidak relevan lagi. Pemberian jasa antar perusahaan afiliasi dalam kaitannya dengan SOP tidak dilakukan tetapi seorang atau lebih karyawan yang masuk dalam program SOP, bekerja untuk lebih dari satu perusahaan dalam grup. PARENTCo kemudian mengalokasikan biaya kepada perusahaan afiliasi yang terlibat, dalam rangka SOP tersebut. Dalam hal ini, pengalokasian biaya harus dikaitkan dengan imbalan yang seharusnya diterima oleh karyawan yang bersangkutan untuk memperoleh jumlah imbalan yang wajar.

Perbandingan dengan transaksi yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa

Salah satu kunci penting dalam rangka penerapan metode transfer pricing adalah melakukan perbandingan transaksi yang sejenis dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Mencari perbandingan dengan transaksi yang independen dalam kaitannya dengan contoh diatas akan sulit karena seandainya transaksi itu ada maka saham yang dijadikan objek opsi adalah saham dari perusahaan yang mempekerjakan karyawan yang bersangkutan.

Baca Juga :  Pajak Investasi Saham: Apa yang Perlu Kamu Ketahui?

Apabila perusahaan tersebut adalah perusahaan publik maka harga saham pada saat opsi dilaksanakan akan mudah diketahui, tetapi apabila perusahaan yang bersangkutan bukan perusahaan publik maka nilainya tidak akan dapat diketahui dengan cepat.
Dengan demikian tidak mungkin melakukan perbandingan dengan transaksi yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa untuk transaksi berupa SOP.

Baca Juga: Ketetapan dan Penempatan Pajak

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka untuk dapat melakukan analisis transfer pricing lebih baik diarahkan kepada karakteristik dari hubungan komersial dan finansial antara PARENTCo dengan SUBSIDICo-1 dan SUBSIDICo-2 sebagai akibat dari SOP tersebut. Sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines beberapa hal yang perlu disimak untuk menerapkan metode transfer pricing yang digunakan perhatian yaitu:

  • Ciri-ciri dari SOP yang diberikan;
  • Analisis fungsi;
  • Syarat-syarat di dalam kontrak;
  • Faktor ekonomis;
  • Strategi bisnis.

Kelima faktor sebagaimana disebutkan diatas, merupakan faktor untuk menentukan “comparability” dengan transaksi yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Setelah dilakukan penyesuaian agar “comparable” lalu dipilih metode transfer pricing yang dipakai. Proses tersebut bukan hal yang mudah karena harus melewati beberapa tahapan yang mungkin tidak memberi jaminan bahwa kasus yang dihadapi “comparable”.

Pada dasarnya letak masalahnya adalah pada pembebanan oleh PARENTCo kepada SUBSIDICo dalam rangka pemberian hak opsi kepada karyawan apakah mencerminkan transaksi yang arm’s length atau setidak-tidaknya mendekatinya. Jadi masalahnya adalah menentukan apakah kompensasi dalam transaksi tersebut sudah mencerminkan arm’s length. Untuk itu mungkin lebih feasible dengan menerapkan beberapa pendekatan.

Baca Juga: Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Salah satu cara untuk menentukan apakah transaksi yang dimaksud terkandung syarat-syarat dan kondisi yang sengaja diciptakan atau tidak adalah dengan membandingkannya dengan transaksi yang independen. Yang dimaksud disini adalah apakah pembebanan biaya dalam rangka SOP antara PARENTCo dengan SUBSIDICo kira-kira sama seandainya dilakukan oleh pihak-pihak yang independen. Hal ini ditempuh dengan cara menentukan nilai dari instrumen finansial yang dipakai, yang dalam hal ini adalah saham yang dijadikan objek SOP.

Dalam kasus di atas adalah mencari harga pasar dari saham PARENTCo yang menjadi objek SOP, yang dalam hal ini tidak sulit karena saham tersebut diperdagangkan di bursa efek. Pendekatan ini tidak dapat dilakukan apabila saham PARENTCo tidak diperdagangkan di bursa sehingga sulit untuk melakukan perbandingan.

Pendekatan yang lain adalah dengan membandingkan biaya yang akan dipikul oleh PARENTCo sebagai pihak yang menyediakan sahamnya dalam rangka SOP tersebut, dengan biaya yang harus dikeluarkan olh SUBSIDICo untuk mendapatkan saham dari PARENTCo seandainya PARENTCo adalah perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan SUBSIDICo. Apabila biaya untuk memperoleh saham tersebut sudah didapat maka tahap berikutnya adalah menerapkan metode cost-plus untuk menentukan biaya yang arm’s length.

Penentuan biaya (atau nilai saham PARENTCo) untuk memperoleh saham tersebut tidak sesederhana yang dikira karena ada beberapa hal yang mempengaruhinya. Hal tersebut dapat ditempuh dengan melihat harga saham pada saat diberikannya hak opsi. Harga tersebut kemudian ditambah dengan biaya-biaya yang berkaitan dengan pemberian jasa yang mempunyai hubungan dengan pemberian hak opsi tersebut.

Undang-undang Pajak Penghasilan

Kasus yang diuraikan diatas beserta pendekatan masalahnya hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan pendekatan terhadap masalah tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuat perbandingan dengan aturan-aturan yang ada di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Undnag-undang Pajak Penghasilan sudah cukup mengatur perlakuan pajaknya berikut cara pengenaannya.

Baca Juga: Hutang Pajak Dan Penagihannya

Yang paling mendesak adalah bahwa aturan yang menyangkut “transfer pricing” karena aturan pelaksanaannya sudah waktunya untuk diperbaharui sesuai dengan OECD Guidelines yang paling mutakhir. Seperti diketahui pedoman yang menyangkut transfer pricing diterbitkan pada tahun 1985 yang juga tidak sepenuhnya mengacu kepada OECD Guidelines.

Apabila petunjuk pelaksanaan atas penanganan transfer pricing sudah sesuai dengan OECD Guidelines maka aparat akan lebih gampang dalam menghadapi masalah ini. Untuk lebih jelasnya kasus yang diuraikan dimuka diberikan tambahan informasi, misalnya PARENTCo adalah perusahaan yang berdomisili di Jepang, SUBSIDICo-1 adalah anak perusahaan yang berdomisili di Singapura dan SUBSIDICo-2 adalah anak perusahaan yang berkedudukan di Indonesia.

Baca Juga :  DJP Pajak Online Daftar

Pada saat John Doe ditugaskan sebagai karyawan di SUBSIDICo-2, yang disebut belakangan ini dibebani dengan biaya (charges) karena PARENTCo memberikan SOP kepada John Doe. Disamping itu, John Doe untuk periode tertentu dalam setiap tahunnya juga ditugaskan di SUBSIDICo-1 (Singapura). Dalam masa penugasan tersebut John Doe tidak memperoleh imbalan dari SUBSIDICo-1 tetapi pada saat penugasan tersebut ia tetap sebagai karyawan SUBSIDICo-2.

Apabila masalah transfer pricing dalam kasus ini untuk sementara diabaikan maka beban yang dibayar kepada induk perusahaannya dilihat dari kacamata Undang-undang PPh, dapat dikurangkan sebagai biaya karena memenuhi kriteria umum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Dari sudut pandang SUBSIDICo-2, bagaimana perlakuan pembayaran kepada PARENTCo tersebut dihubungkan dengan kewajibannya sebagai pemotong PPh. Mengingat antara Indonesia dan Jepang ada P3B maka untuk menentukan apakah biaya tersebut harus dipotong PPh harus disimak P3B yang bersangkutan.

Pertanyaan yang pertama-tama harus dilontarkan adalah masuk dalam kategori apakah pembayaran tersebut bagi PARENTCo. Dari sudut pandang jenis penghasilan sesuai dengan kategori P3B imbalan yang dibayar oleh SUBSIDICo-2 bukan “business profits”. Yang paling mendekati adalah bahwa imbalan tersbeut masuk kedalam “penghasilan lain-lain” karena tidak dapat digolongkan kedalam penghasilan-penghasilan yang penentuan hak pemajakannya diatur di dalam P3B. Yang paling mendekati adalah kelompok “penghasilan lain-lain”, yang di dalam P3B Indonesia-Jepang hanya akan dikenakan pajak di Jepang, dimana PARENTCo berdomisili. Dengan demikian maka SUBSIDICo-2 tidak boleh memotong PPh sama sekali.

Baca Juga: Gugatan, Banding, Keberatan, Dan Peninjauan Kembali

Transaksi yang kedua adalah bahwa John Doe bekerja di dua perusahaan dari satu grup, yang dalam transaksi tersebut SUDSIDICo-2 tidak menerima imbalan dalam kaitannya dengan melepaskan John Doe untuk kepentingan SUBSIDICo-1. Bagaimanakan perlakuan PPh-nya atas transaksi tersebut? Dapatkah DITJEN Pajak menerapkan “imputed income” terhadap transaksi tersebut? Kalau jawabannya “positif” timbul masalah berapa penghasilan dari transaksi tersebut? SUBSIDICo-2 mungkin saja terperangkap dalam masalah “bentuk usaha tetap (BUT)” karena John Doe statusnya adalah karyawan dari SUBSIDICo-2 yang berada di Singapura.

Keadaan ini dapat dianggap mewakili SUBSIDICo-2 sehingga perusahaan ini akan dianggap mempunyai BUT di Singapura bila memenuhi tes waktu sebagaimana diatur di dalam Pasal 5(2)i dari P3B Indonesia-Singapura. Masalah yang dihadapi Singapura dalam hal ini sama dengan Indonesia dalam hal menentukan berapa penghasilan dari “BUT SUBSIDICo-2” dari kegiatan memberikan jasa tersebut.

Dari situasi yang dikemukakan diatas tampak bahwa SOP yang dilancarkan oleh PARENTCo kepada John Doe, yang memperoleh manfaat tersebut bukan saja John Doe tetapi juga SUBSIDICo-1 yang berdomisili di Singapura.

Kesulitan yang dikemukakan diatas disebabkan karena transaksi tersebut hanya dilihat sepotong-sepotong sehingga pemecahan masalahnya juga tidak tepat sasaran. Hal ini belum lagi apabila ditinjau dari perlakuan pajak penghasilan atas imbalan yang diterima oleh John Doe dalam transaksi tersebut.

Baca Juga: Pemeriksaan Pajak

Masalah ini dapat dipecahkan melalui pendekatan dengan mengoptimalkan jaringan P3B. Kasus yang disajikan diatas melibatkan tiga yurisdiksi pajak yang berbeda. Apabila ketiga negara tersebut masuk dalam jaringan P3B maka penanganannya akan lebih mudah. Pemanfaatan P3B secara maksimal perlu ditempuh melalui pertukaran informasi yang sifatnya spontan. Yang dimaksud dengan “pertukaran informasi secara spontan” adalah informasi yang dikirim oleh suatu negara yang menyangkut wajib pajak negara lain sebagai hasil audit pajak yang dilakukan oleh negara yang disebut pertama.

Transaksi yang dijadikan studi kasus diatas hanya akan dapat dideteksi apabila salah satu negara melakukan pemeriksaan pajak sehingga transaksinya akan dapat diketahui. Selama ini pertukaran informasi hanya bertumpu kepada pertukaran informasi yang sifatnya otomatis (automatic exchange of information), yang hanya mencakup passive income. Pertukaran informasi jenis ini juga akan membantu pengenaan pajak terhadap karyawan yang bersangkutan dari sudut pandang remunerasi yang diterimanya.

Related posts