Pasal 31 E UU PPh : Menguntungkan atau Bumerang ?

penghasilan but

Salah satu alternatif untuk mengupayakan keadilan dalam penyelenggaraan pemungutan pajak dapat dilakukan secara umum dan merata ke seluruh Wajib Pajak. Adam Smith melalui An Inquiry in to the nature and causes of the wealth of nations, memberikan empat asas pemungutan pajak yaitu :

Baca Juga: Pedoman Perpajakan

  1. Equality (Asas falsafah hukum)
    Pembagian beban pajak di antara masing-masing subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang diterima oleh setiap subjek pajak. Asas ini dikenal dengan dua jenis yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal.
  2. Certainty (Asas Yuridis)
    Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbiraty). Kepastian hukum mengenai subjek pajak, objek pajak, saat terutang, pembayaran dan pelaporan adalah ketentuan yang sangat penting dan mutlak dalam proses pemungutan pajak.
  3. Convenience (Asas Ekonomi)
    Penetapan pajak didasarkan pada convenience of payment yaitu saat paling tepat bagi Wajib Pajak ketika menerima penghasilan.
  4. Efficiency (Asas Financial)
    Asas yang terakhir ini mengedepankan bahwa biaya pemungutan pajak harus bersifat hemat dan tidak boleh melebihi penerimaan pajak dalam kas Negara.

Prinsip Pemerintah dalam melakukan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan terbaru pada dasarnya merujuk kepada asas pemungutan pajak diatas yaitu berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment.

Baca Juga: Tata Cara Pendaftaran dan Pelaporan Usaha

Arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan pemerintah adalah untuk:

  1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
  2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
  3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
  4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
  5. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Salah satu pokok perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan adalah dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain dengan cara mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga diubah dan disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut.

Baca Juga: Pembetulan, Pembatalan Ketetapan Pajak dan Penghapusan Sanksi Administrasi

Munculnya ketentuan baru dalam UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yaitu pasal 31 E menimbulkan banyak sekali interpretasi yang berbeda-beda di kalangan Wajib Pajak, Petugas Pajak bahkan Konsultan Pajak. Banyak yang berasumsi bahwa peredaran bruto berasal dari penghasilan utama saja (main business income), fasilitas ini hanya dikhususkan untuk industri UMKM, industri perbankan tidak dapat menikmati fasilitas tersebut, apakah perusahaan yang masuk ke bursa efek juga dapat menikmati fasilitas (perseroan terbuka) dan ada juga yang berpendapat bahwa fasilitas ini adalah sebuah pilihan yang sifatnya tidak wajib.

Baca Juga :  Cara Pemindahbukuan Pajak Secara Online

Pasal 31 E ayat (1) UU PPh, diatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif normal 28% (tahun 2009) dan 25% (tahun 2010 dst) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Sejak diterbitkan pada tanggal 23 September 2008, penjelasan mengenai aturan ini belum jelas dan tidak ada peraturan yang mengatur lebih lanjut. Namun per tanggal 24 Mei 2010 diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 yang menjelaskan hal-hal sebagai berikut :

Baca Juga: Gugatan, Banding, Keberatan, Dan Peninjauan Kembali

  1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara selfassessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
  2. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
  3. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :
    ·Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
    ·Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
    ·Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
  4. Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut ditegaskan juga bahwa fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sehingga dapat dianalogikan bahwa merupakan kewajiban bagi WPDN yang penghasilan brutonya berada di bawah atau sampai dengan lima puluh miliar rupiah.

Jika melihat dari ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut maka untuk batas peredaran bruto hanya untuk main business income (penghasilan utama). Sedangkan other income (penghasilan lain-lain) seperti pendapatan bunga deposito, keuntungan dari selisih kurs, keuntungan pengalihan harta dll tidak termasuk dalam kategori batasan penghasilan bruto.
Meskipun terkesan terlambat menerbitkan, ketentuan tersebut setidaknya bisa menjawab sebagian keraguan dari beberapa pertanyaan yang muncul di kalangan Wajib Pajak.

Baca Juga: Penyusutan dan Amortisasi

Dalam sosialisasinya ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tujuan dimunculkannya intensif pasal 31 E dimaksudkan untuk :

  1. mendukung program Pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM.
  2. mengurangi beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh badan.

Apakah yang dimaksud dengan perusahaan yang tergolong UMKM ?

Perkembangan industri UMKM memang menunjukkan pergerakan yang signifikan setiap tahunnya. Data dari Departemen Koperasi dan UKM menunjukkan jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tahun 2008 mencapai 51,26 juta yang didominasi oleh usaha mikro (99%). Sedangkan tahun 2007 sebanyak 49,82 juta unit, sehingga mengalami peningkatan sebesar 2,8 %.

Baca Juga :  Pajak Hibah Berapa Persen

Dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), PDB UKM tahun 2008 mencapai Rp 2.609 trilun, di mana sebesar Rp 1.505 triliun di antaranya disumbangkan oleh unit-unit usaha mikro. PDB UKM ini lebih besar dibanding PDB yang dihasilkan unit-unit usaha besar secara kumulatif yang mencapai Rp 2.087 triliun.

Dalam UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM) dalam pasal 6 disebutkan Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa peredaran usaha yang tercantum dalam pasal 31 E UU PPh merupakan implementasi dan adopsi dari pasal 6 UU UMKM. Kemudian di UU UMKM tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan bahwa perusahaan asing (PMA) atau perusahaan yang masuk kegiatan bursa efek tidak termasuk dalam kategori UMKM. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa perusahaan yang memiliki peredaran bruto selama satu tahun di bawah lima puluh miliar rupiah adalah kategori perusahaan UMKM dan berhak atas fasilitas pemerintah.

Baca Juga: Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Untung atau Bumerang ?

Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut ditegaskan bahwa fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan bagi Wajib Pajak dalam menghitung PPh terutang. Secara otomatis bagi mereka yang memiliki penghasilan bruto dibawah Rp. 50.000.000.000,- diwajibkan menghitung dengan mekanisme perhitungan fasilitas pasal 31E.
Secara kasat mata fasilitas yang diberikan oleh pemerintah akan menguntungkan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Hal tersebut setidaknya akan terlihat ada tax saving (penghematan pajak) sebesar 14 % dari tarif normal 28%. Penulis mengkaji bahwa tax saving akan dapat dioptimalkan bagi perusahaan yang tidak memiliki kredit pajak dari dalam negeri (PPh Pasal 22 dan Pasal 23). Contoh perusahaan industri manufaktur yang dalam setahun tidak melakukan kegiatan ekspor dan tidak melakukan penjualan ke bendaharawan pemerintah atau perusahaan jasa yang penghasilannya bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 22 dan Pasal 23.
Namun bagi perusahaan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 dan dipungut PPh 22, fasilitas pasal 31 E ini dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan bayar PPh Badan sehingga pada tahun yang bersangkutan akan mendapatkan prioritas pemeriksaan pajak oleh Kantor Pajak. Hal ini diakibatkan karena pemotongan PPh Pasal 23 berbasis pada penghasilan bruto atau peredaran usaha sedangkan perhitungan PPh terutang berbasis Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang merupakan komponen terakhir setelah proses koreksi fiskal dan kompensasi kerugian. Begitupula dengan kredit pajak PPh Pasal 22. Ilustrasi dapat dilihat pada bagan dibawah ini :

 

 

 

Baca Juga :  Penjelasan dan Pengertian Utang Pajak

 

 

 

Sehingga dapat tergambar bahwa bagi perusahaan yang PPh terutangnya tidak lebih besar dari kredit pajak PPh 23 dapat mengakibatkan terjadinya lebih bayar di SPT Tahunan. Konsekuensinya akan terjadi pemeriksaan pajak yang dapat menimbulkan terjadinya potensi temuan oleh pemeriksa pajak dari jenis pajak yang lain.

Baca Juga: Penentuan Laba Usaha Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap

Namun wajib pajak badan dalam negeri tidak perlu risau akan masalah tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan yaitu diantaranya dengan 1.mengajukan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan pajak oleh pihak lain ke kantor pajak. 2.mengajukan permohonan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25.

Dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP – 192/PJ./2002 disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena: 1.Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal, atau 2.Wajib Pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang bersangkutan, 3.Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.

Adapun syarat permohonan untuk mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) adalah sbb : 1.Mengisi formulir pemohonan SKB. 2.wajib menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun berjalan. 3.wajib menyampaikan daftar pihak-pihak pemberi penghasilan beserta nilai transaksi yang diperkirakan akan diterima/diperoleh. 4.Khusus PPh Pasal 22, terbatas pada barang-barang modal yang tersebut dalam Master List sebagai lampiran Persetujuan Tetap yang dikeluarkan oleh BKPM dan keperluan bahan baku untuk satu tahun yang disetujui oleh BKPM.

Baca Juga: Ketetapan dan Penempatan Pajak

Atas permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain, wajib diberikan keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah permohonan Wajib Pajak diterima belum diberikan keputusan maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.

Bagi Wajib Pajak yang memprediksi akan terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan yaitu berupa penurunan kegiatan usaha dapat mengajukan permohonan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25.

Apabila setelah 4 bulan atau lebih dalam suatu tahun pajak wajib pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, wajib pajak tersebut dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 kepada Kepala KPP setempat.

Syarat-syarat permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 :

  1. Diajukan secara tertulis
  2. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang diterima/diperoleh, dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang masih tersisa dari tahun pajak ybs.
Arie Widodo, S.E., M.S.M.- Praktisi & Staf Pengajar Pajak FISIP Universitas Indonesia, 10 Agustus 2010
Sumber: ortax.org

Related posts