Penafsiran Atas Ketentuan Pasal 15 (2) Dari Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Berdasarkan OECD

materipajak.id
materipajak.id

Prinsip pokok dari suatu P3B adalah membagi hak pemajakan antara dua negara. Hal ini ditempuh dengan mengelompokkan jenis-jenis penghasilan seperti misalnya penghasilan dari usaha, penghasilan dari bunga, royalti, dividen dll. Salah satu kelompok penghasilan dalam kaitannya dengan masalah ini adalah penghasilan dari hubungan kerja. Transaksi yang berkaitan dengan suatu P3B selalu dalam kerangka lintas batas. Jadi dalam topik bahasan ini adalah apabila seorang subjek pajak dari Negara A melakukan pekerjaan di Negara B dalam kapasitasnya sebagai seorang karyawan perusahaan yang berdomisili di Negara A.

Baca Juga: Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Didalam Model P3B ketentuan ini diatur di Pasal 15, yang pada dasarnya baik OECD maupun United Nations Model (UN Model) rumusannya sama, yang dipakai sebagai model untuk P3B di seluruh dunia termasuk Indonesia. Oleh sebab itu perlu disimak bagaimana ketentuan tersebut ditafsirkan, terutama apabila dijumpai masalah yang berkaitan dengan ketentuan tersebut.

Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dari OECD Model adalah sebagai berikut:

Income from employment

  1. Subject to the provisions of Articles 16, 18, and 19, salaries, wages, and other similar remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment shall be taxable only in that State unless the employment is exercised in the other Contracting State. If the employment is so exercised, such remuneration as is derived therefrom may be taxed in that other State.
  2. Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised in the other Contracting State shall be taxable only in the first-mentioned State if:
  • the recipient is present in the other State for a period or periods not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal year concerned, and
  • the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of the other State, and
  • the remuneration is not borne by a permanent establishment which the employer has in the other State.”

Baca Juga: Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)

Ayat 1 dari Pasal 15 tersebut meletakkan prinsip dasar yaitu bahwa hak pemajakan atas penghasilan dari hubungan kerja adalah di negara dimana pekerjaan dilakukan. Prinsip ini juga dianut oleh Undang-undang Pajak Penghasilan.

Baca Juga :  Yang Termasuk Pajak Tidak Langsung Adalah

Ayat 2 memberikan pengecualian atas penerapan ayat 1 yaitu bahwa penghasilan dari hubungan ini dikenai pajak di negara asalnya walaupun pekerjaannya dilakukan di negara lain (yang mempunyai P3B dengan negara yang disebut pertama), sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Ketiga syarat sebagaimana disebutkan pada ayat (2) diatas harus dipenuhi semuanya agar pajak atas penghasilan dari hubungan kerja dikenakan pajak di negara asalnya. Untuk memudahkan pemahamannya diberikan contoh dibawah ini.
Misalkan ACO adalah perusahaan yang berdomisili di Negara A, mengirim salah seorang karyawannya, yaitu Harry ke Negara B, dan antara A dan B berlaku P3B. Gaji Harry selama ia ditempatkan bekerja di B hanya dapat dikenai pajak di A bila tiga syarat dipenuhi, yaitu:

  • Harry berada di B tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
  • Gajinya dibayar oleh ACO,dan
  • Gajinya Harry tidak dibebankan kepada “bentuk usaha tetap” dari ACO.

Baca Juga: Objek Pajak Final

Ilustrasi tersebut diatas sangat jelas duduk perkaranya karena Harry sudah disebutkan sebagai karyawannya ACO. Dari kacamata Negara B, sebagai negara yang harus menerapkan ketentuan P3B, tidak sesederhana seperti yang disebutkan.

Bila diambil contoh di atas pemberian jasa oleh Harry dapat ditafsirkan bahwa penugasannya adalah dalam rangka pemberian jasa kepada perusahaan lain. Dalam konsep OECD pemberian jasa hanya dikenai pajak di negara domisili karena dalam definisi “bentuk usaha tetap” tidak meliputi “pemberian jasa”. Tetapi apa bila dilihat dari konsep UN Model maka terdapat dua kemungkinan dari situasi tersebut, yaitu perusahaan ACO mungkin akan dianggap mempunyai “bentuk usaha tetap” sehingga imbalan dari jasa yang diterima oleh ACO dapat dikenai pajak di B, dan gaji yang diterima oleh Harry selama melakukan tugasnya di B dapat dikenai pajak juga di B.

Cakupan dari Pasal 15, khususnya ayat (2) adalah penghasilan yang diterima oleh seorang subjek pajak dari salah satu negara dalam rangka hubungan kerja, yang dilakukan di negara lainnya. Jadi kuncinya terletak kepada istilah “hubungan kerja”. Beberapa negara menafsirkan bahwa “hubungan kerja” selalu ditandai dengan adanya “kontrak kerja” antara pemberi kerja dan orang yang bersangkutan. Penafsiran tersebut akan mengakibatkan kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu penghasilan dari situasi tersebut tidak tunduk pada ketentuan Pasal 15.

Baca Juga :  Apa Arti BPHTB?

Yang penting dalam hal ini adalah tetap harus dilihat bahwa Pasal 15 cakupannya adalah dalam rangka hubungan kerja. Dengan penerapan prinsip ini maka walaupun tanpa kontrak kerja maka terhadap contoh di atas Pasal 15 ayat (2) dapat diterapkan.

Dalam hubungan ini OECD memberi rekomendasi dengan menambah ketentuan yang memberi penegasan bahwa ketentuan ayat 2 tersebut tidak berlaku apabila:

Baca Juga: Pajak Atas Penghasilan Anggota Keluarga

  • Penerima penghasilan yang bersangkutan menjalankan tugasnya bukan kepada perusahaan tempatnya bekerja tetapi kepada perusahaan lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengawasi, mengarahkan atau melakukan kontrol dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut; dan
  • Pemberi kerja tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Contoh lain yang berkaitan dengan penerapan Pasal 15 ayat (2) dapat dijumpai dalam hal kasus-kasus yang lazim disebut dengan “hiring-out of labour.

Misalkan Aco adalah perusahaan yang berdomisili di A, yang bergerak dalam pengerahan tenaga kerja. Bco perusahaan yang berdomisili di B menutup perjanjian dengan Aco untuk menyediakan tenaga kerja yang dipekerjakan di B. Para pekerja tersebut digaji oleh Aco, sedangkan Bco membayar imbalan kepada Aco sebagai jasa penyediaan tenaga tersebut. Yang menjadi masalah adalah apakah perlakuan gaji yang diterima oleh para pekerja tersebut tunduk kepada Pasal 15.

Dalam praktek seringkali tidak jelas apakah jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dapat dikatakan sebagai jasa dalam hubungan kerja dengan pemberi kerja, atau antara dua perusahaan. Faktor yang penting untuk mengetahuinya adalah bahwa biasanya apa yang dilakukan oleh seseorang merupakan bagian yang integral dari kegiatan perusahaan tempatnya bekerja. Apabila faktor tersebut berbeda dengan kenyataannya maka faktor-faktor di bawah ini menjadi penting untuk apakah memang demikian kenyataannya:

Baca Juga: Penghitungan PPh Pada Akhir Tahun

  • siapa yang memikul tanggung jawab atau resiko atas hasil pekerjaan orang tersebut;
  • siapa yang mempunyai wewenang memberikan instruksi kepada orang itu;
  • siapa yang mengawasi dan yang bertanggung jawab terhadap tempat dimana pekerjaan dilakukan;
  • siapa yang menanggung gaji orang yang bersangkutan;
  • siapa yang menyediakan peralatan dan bahan yang diperlukan agar dapat dipergunakan oleh orang yang bersangkutan; siapa yang menentukan jumlah dan kualifikasi dari orang-orang yang melakukan pekerjaan.Agar lebih mudah memahami masalahnya berikut ini disajikan beberapa contoh transaksi yang menyangkut penerapan Pasal 15 ayat (2).
Baca Juga :  Tarif PPh Sewa Gedung: Apa yang Perlu Anda Ketahui?

Contoh 1:

SinCo adalah perusahaan yang berdomisili di Singapura, bergerak dalam pemberian pelatihan dalam bidang aplikasi perangkat lunak komputer. SinCo menandatangani kontrak dengan PT Indo, perusahaan yang berdomisili di Indonesia untuk memberi pelatihan kepada karyawan PT Indo. Untuk keperluan tersebut SinCo mengirim Liem, salah satu tenaga ahlinya ke Jakarta untuk melaksanakan pelatihan sesuai dengan perjanjian. Dalam situasi demikian, sepanjang menyangkut penghasilan yang diterima oleh Liem selama melaksanakan tugasnya di Jakarta, Indonesialah yang melaksanakan ketentuan P3B. Dalam keadaan demikian Indonesia (dalam hal ini DITJEN Pajak) tidak bisa berpendapat lain kecuali bahwa Liem adalah karyawan dari SinCo, karena apa yang dilaksanakan di Jakarta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan usaha SinCo. Dengan demikian, untuk menentukan apakah gaji yang diterimanya selama bertugas di Jakarta akan tunduk kepada ketentuan Pasal 15 ayat (2) dari P3B Indonesia-Singapura.

Baca Juga: Perlakuan PPN Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Modal Berupa Mesin dan Peralatan Pabrik

Contoh 2:

Cco adalah induk perusahaan dari beberapa perusahaan (antara lain Dco, perusahaan yang berdomisili di D), adalah perusahaan yang berdomisili di C. Cco telah mengembangkan strategi pemasaran untuk seluruh dunia dalam rangka penjualan produknya. Cco kemudian mengirim John Doe ke Dco (untuk masa yang singkat) untuk memastikan apakah Dco sudah menerapkan strategi yang telah dikembangkan oleh Cco. Dalam hal ini kedudukan John Doe selaku karyawan Cco tidak bisa diragukan lagi karena Cco sebagai induk perusahaan dalam grup usahanya bertindak dalam rangka untuk mengelola strategi pemasaran globalnya. Jadi Kegiatan yang dilakukan oleh John Doe sesuai dengan kegiatan usaha Cco, perusahaan tempatnya bekerja. Jadi, perlakuan gaji John Doe selama ditugaskan di D tunduk kepada ketentuan Pasal 15 ayat (2). Artinya gaji tersebut hanya dapat dikenai pajak di C sepanjang memenuhi syarat yang diatur di Pasal 15(2).

Related posts